
Bagi saya Pale Fire terasa seperti sebuah persembahan intelektual oleh Nabokov untuk para pembacanya, seperti sebuah puzzle yang tempramental namun cantik, penuh dengan teka-teki dan makna yang berlapis-lapis, menghasilkan berbagai diskusi dan teori-teori dari berbagai kalangan selama bertahun-tahun, dan, oleh karenanya, merupakan satu karya yang unik di mata saya: seperti satu untaian karet besar yang terbentang dan ditarik menuju dua sisi yang berlawanan—sisi Nabokov sebagai pencerita dan sisi Nabokov sebagai pengkritik sastra. Sebuah pertentangan yang menghasilkan kekhasannya tersendiri.
Dia akan membawa kita pada rahasia dunia sastra, menyeretnya dari singgasananya dan menghajarnya sampai babak belur. Membawa-bawa Dostoevski dan Goethe, Shakespear dan Pope, Timon of Athens dan A la Recherche du Temps Perdu.
Dia akan membawa-bawa teori dan psychoanalysisnya Freud, mengolok-ngoloknya dan mengkritik kekonyolan teorinya. “The little cap of red velvet in the German version of Little Red Riding Hood is a symbol of menstruation.” Do those clowns really believe what they teach? Keskeptisan yang muncul akibat latar belakangnya dia yang juga seorang saintis. “I admire Freud greatly,” ujar Nabokov, “… as a comic writer.”
Dia akan membawa kita pada cerita mengenai alam dan manusia. Bercerita mengenai biologi, geografi, antropologi, dan bahkan supranatural. Membawa-bawa imaji burung terbang mengangkasa semenjak 4 baris pertama puisinya, dan membawa-bawa kupu-kupu Vanessa, The Red Admirable, dalam momen-momen penting di ceritanya.
Dia akan membawa-bawa sejarah dunia dan mengarang sejarah dunianya sendiri: mendongeng tentang kerajaan fiksi bernama Zembla, nun jauh di Timur, di antara Bera Range dan Quay of Blawick, di antara Embla point dan Emblem Bay, lengkap dengan silsilah kerajaan dan pergolakannya sendiri.
Tapi sejatinya, di antara semua itu, dia akan membawa kita pada rahasia jiwa terdalam dua orang manusia: tentang mendiang John Shade yang melalui puisinya berusaha untuk memahami hidupnya selama ini, hidupnya yang dipenuhi dengan kematian orang-orang terdekatnya. Dan tentang Charles Kinbote yang, dengan keangkuhan dan obsesinya, merasa berhak dan memaksa untuk mengomentari puisi temannya tersebut.
***
Pale Fire bersetting di kota fiksi New Wye, Appalachia, USA pada tahun 1959. Di sini Charles Kinbote tinggal sebagai seorang akademisi di fakultas sastra Wordsmith University, fakultas yang sama tempat John Shade mengajar. Di sinilah John Shade menulis puisi terakhir dan paling ambisiusnya.
Puisi itu berjudul Pale Fire, dan terdiri dari 4 kanto sepanjang 999 baris. Puisi itu bercerita tentang pengalaman hidupnya selama ini: tentang usahanya membangun keluarga dan menjadi seorang ayah dan suami, tentang refleksinya menjadi seorang sastrawan, tentang arti kehilangan orang yang dia cintai, dan, utamanya, tentang makna hidup di dunia ini dan setelahnya.
Sayangnya, dia dibunuh tidak berapa lama setelah menyelesaikan puisinya.
Kinbote, setelah kejadian naas yang merenggut nyawa temannya tersebut, berniat untuk menjelaskan puisinya dalam bentuk sebuah komentar kritk sastra, sebuah usaha yang kemudian ia terbitkan menjadi sebuah buku. Buku yang dia buat inilah yang kita baca sebagai “novel”.
Bentuk novel yang unik ini mengingatkan kita pada usaha-usaha penulis dari berbagai jaman yang berusaha untuk mendobrak mediumnya sendiri. Pale fire adalah sebuah contoh klasik novel-yang-bukan novel, sebuah karya sastra postmodernist yang mencoba mengejawantahkan struktur baru dalam bercerita.
Akibatnya, Pale Fire ditulis selayaknya sebuah karya ilmiah bidang humaniora: lengkap dengan kata pengantar, keseluruhan puisi pale fire itu sendiri, dan komentar akademis baris per baris puisi, berikut cross references dan index section yang menerangkan dengan jelas nama-nama dan tempat-tempat penting yang muncul.
Terperangkap di antara2 komentar-komentar Kinbote itu kita akan menjumpai novel yang sesungguhnya: cerita-cerita tentang narsisme dan obsesi, tentang makna hidup dan mati, tentang kehilangan dan kepiluan hati, dan selang beberapa halaman Kinbote malah memutuskan untuk mendongeng mengenai petualangan hidup seorang putra mahkota dari Kerajaan Zembla.
***
Selama membaca Pale Fire saya bisa membayangkan seakan-akan diri saya sedang berjalan melewati sebuah rawa besar penuh lumpur. Lumpur itu bukan lumpur biasa, tapi berupa kumpulan kata-kata Kinbote yang berat dan menempel ke sekujur tubuh dan menahan segala laju kaki saya: seratus halaman pertamanya terasa lamban dan membingungkan, ditulis dengan penuh detail—kadang terlalu banyak detail— berbicara mengenai hal-hal yang pada awalnya tidak terasa ada sambung menyambungnya.
Di sini kita bisa melihat kuasa Kinbote sepenuhnya, berbicara dan memilih tema pembahasan seenaknya dengan nada angkuh, penuh aristocratic pretentiousness, yang seakan2 ingin memamerkan kualitas status sosial dia yang berupa seorang terpandang dengan pemahaman dunia sastra yang lebih tinggi daripada \”rakyat jelata\”. \n\n\n\nSemakin kita membaca novel ini, semakin kita melihat obsesi dan narsisme Kinbote. Semua dikait-kaitkan dengan dirinnya, banyak gak nyambungnya. Di sini kita membaca suara seseorang yang sepenuhnya tertelan obsesi dan egoisme: prosa-prosa pun mengikuti jalur pikiran Kinbote yang berlika-liku.
Banyak yang bilang Nabokov sengaja menulis Pale Fire dengan menjelimet begitu, seakan-akan ingin menertawai para kritikus sastra yang merasa tulisan mereka begitu pentingnya—lebih penting dari karya sastra yang dia komentari—padahal tulisannya jelek, di-ada-ada-in, hambar, dan gak nyeni.
Tapi tenang, betapapun ingin Nabokov sajikan tulisan Kinbote secara menjlimet, semua prosa masih bisa dimengerti. Bahkan keseluruhan novel ini tetap ditulis dengan kualitas prosa yang sangat tinggi. Dan semakin jauh kita membaca, semuanya mulai terasa masuk akal—sekalipun perasaan lambat melangkah masih terasa.
Seiring berjalannya waktu, seiring semakin terhanyutnya kita terbawa dalam dunianya, ketika kita merasa kita sudah terbiasa dengan suara khas Kinbote, Nabokov menggocek ekspektasi kita dengan menyajikan prosa kalimat yang begitu indahnya. Saking bagusnya kemampuan bahasa inggris dia (dia orang Rusia), beberapa prosa sampai membuat saya tercengang. Membuat saya berhenti membaca sejenak.
Favorit saya adalah mimpi-mimpi ketika King X merindukan Queen Disa. Orang yang sudah dia perlakukan dengan dingin dan kasar selama ini. Tetapi kini, setelah beberapa tahun, dia malah merindukannya. Dalam beberapa momen-momen seperti ini kelihaian menulis Nabokov muncul ke permukaan. Rasanya seperti melihat imaji-imaji temaram dalam ruang gelap yang diterangi api lilin, imaji-imaji tentang kepiluan hati dan keresahan diri, muncul dan hilang dalam warna-warna dan rupa yag berbeda, dari ketiadaan menjadi ada. Lalu menjadi tiada lagi. Silih berganti. Nyambung. “These heart-rending dreams,” tulisnya, “transformed the drab prose of his feelings for her into strong and strange poetry.“
***
Kalau ada satu hal yang bisa dibilang khas dari Vladimir Nabokov adalah kebiasaannya untuk menulis novelnya pada sekumpulan index card yang dia tulis dan susun di dalam mobil ketika dia dan istrinya pergi melakukan ekspedisi pencarian kupu-kupu. Sekumpulan index card yang, selama pengerjaan novelnya, dia baca dan ubah dan tambah berulang-ulang, menambahkan index card baru dan mengaturnya sedemikian rupa, seperti menyusun sebuah puzzle, ke bagian-bagian novelnya yang masih “bolong”.
“I don’t write consecutively from the beginning to the next chapter and so on to the end.” ujarnya pada sebuah wawancara BBC pada tahun 1962. “I just fill in the gaps of the picture, of this jigsaw puzzle which is quite clear in my mind, picking out a piece here and a piece there and filling out part of the sky and part of the landscape…“
Seperti Nabokov menyusun puzzlenya, pembaca pun menyusun puzzle versi mereka sendiri. Sebuah puzzle sastra yang bisa dirangkai dengan beribu-ribu cara, menghasilkan wajah yang berbeda-beda pula.
Pale Fire, bagi saya, lebih terasa seperti kumpulan mimpi-mimpi pendek yang terpisah ketimbang satu kesatuan novel seperti pada umumnya. Satu bundel kumpulan mimpi yang unik: kadang lucu, kadang absurd, kadang nyeleneh. Penuh dengan imaji-imaji brilian yang menyala dan menari-nari di dalam kepala.
Karena bentuknya yang unik dan membahas mengenai begitu banyak hal, dan fakta bahwa satu komentar kadang mengacu pada komentar lainnya, banyak orang yang menyarankan untuk membaca ulang novel ini ketika sudah selesai. Di dalamnya banyak tersimpan easter egg, satir, dan hubungan-hubungan lainnya yang pada awalnya terlewat dan tidak tampak oleh kita. (Salah satu aktifitas yang mengasyikan adalah menelusiri satu per satu bread crumps yang tersebar dan saling nyambung di bagian Indexnya.)