The Fifth Discipline: A Review

Kalau ada satu buku yang berhasil menjungkirbalikan hidup saya dan akhirnya menyetel ulang cara berpikir saya selama ini, maka The Fifth Discipline adalah buku yang saya maksud.

Setelah sempat mendekam dalam reading list saya selama bertahun-tahun, berikut selentingan-selentingan dari berbagai arah mengenai pentingnya buku ini untuk memahami system thinking dan organisasi, pada suatu sore hari pada tanggal 15 februari lalu saya akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini untuk pertama kalinya. Dan ternyata, buku ini melebihi ekspektasi terliar saya.

Melalui The Fifth Discipline, Peter Senge berhasil menggabungkan beberapa framework, teori, dan metode berbeda, yang ia sebut sebagai Disciplines, yang selama ini terpisah dan tampak tidak relevan satu sama lain menjadi satu kesatuan falsafat manajemen yang terpadu.

Sebuah falsafat manajemen yang berusaha untuk membentuk Learning Organziations:” Organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together.”

“Learning in this context does not mean acquiring more information, but expanding the ability to produce the results we truly want in life. It is lifelong generative learning.”

Sebuah falsafat manajemen yang berusaha menghancurkan anggapan bahwa dunia ini terpisah-pisah dan terbentuk dari bagian-bagian yang tidak saling mempengaruhi.

Tapi lebih dari itu, lebih dari sekedar metode-metode ataupun framework berorganisasi, buku ini sejatinya hendak menanyakan kembali makna dan tugas manajemen selama ini.

***

Tapi untuk mengerti kenapa buku ini begitu powerful kita harus balik lagi 20 tahun ke belakang. Kembali pada suatu hari di musim semi di tahun 1990, pada bulan-bulan terakhir sebelum buku ini diterbitkan.

Dan semua ini dimulai dari surat Edwards Deming, sang bapak Total Quality Management, kepada Senge beberapa saat setelah membaca preview copy buku ini:

“Our prevailing system of management has destroyed our people. People are born with intrinsic motivation, self-respect, dignity, curiosity to learn, joy in learning. The forces of destruction begin with toddlers—a price for the best Halloween costume, grades in school, gold stars—and on up through the university. On the job, people, teams, and divisions are ranked, reward for the top, punishment for the bottom. Management by Objectives, quotas, incentive pay, business plans, put together separately, division by division, cause further loss, unknown, unknowable.”

Apa yang Peter Senge coba katakan dalam bukunya The Fifth Discipline selama lebih dari 400 halaman ini berhasil dirangkum dengan tepat oleh Edwards Deming dalam satu paragraf pendek saja—sebuah realisasi bahwa management style kita saat ini, management style yang lumrah dipraktekan di berbagai organisasi, justru merusak manusianya, dan sebagai akibatnya turut merusak organisasinya.

Bagi yang belum tahu, Edwards Deming sudah seperti seorang selebriti di dunia manajemen. Salah satu tokoh awal di Jepang yang menekankan pentingnya Kualitas untuk keberhasilan sebuah bisnis.

Tokoh-tokoh seperti Edwards Deming, Joseph Juran, Kaoru Ishikawa, dan kolega-kolega mereka di Union of Japanese Engineers (JUSE) menjadi pencetus awal Quality movement di Jepang dan menjadi roda penggerak kebangkitan industri Jepang pasca kekalahan mereka pada perang dunia ke-2. Sebuah movement yang kelak akan dikenal dunia sebagai Total Quality Management.

Total Quality Movement pun mengalami perubahan seiring waktu dan semenjak tahun 1960-1970an framework Kualitas yang sebelumnya hanya fokus pada kesempurnaan matematika dan statistical control perlahan2 berubah menjadi framework peningkatan Kualitas melalui reformasi bentuk manajemen.

Kualitas, baik barang maupun service, menurut mereka, menjadi ujung tombak keberhasilan sebuah bisnis. Dengan kata lain: aspirasi untuk melayani dan terus meningkatkan kualitas harus menjadi kultur organisasinya. Dan hal ini hanya bisa dicapai jika semua orang di dalam organisasi tersebut mengerti dan mejalankannya setiap hari.

Konsep-konsep seperti Openness (developing a genuine spirit of inquiry and trust), Localness (decisions should be made at the lowest possible level), dan Intrinsic Motivation (people are naturally motivated to learn) menjadi salah satu fondasi gerakan ini.

Sebagai contoh, salah satu framework dari Quality Movement Jepang yang terkenal adalah Gemba Kaizen. Dalam framework ini manajemen sebenernya bertugas untuk melayani para pekerja di gemba (istilah mereka untuk tempat terjadinya proses produksi, sales, dan product development.) Karena para pekerja ini, ujar Professor Takeshi Kawase, adalah money earner perusahaan yang sebenarnya. Pekerja juga diberikan otonomi untuk berinovasi setiap harinya.

Demming pun menyadari pentingnya reformasi manajemen ini. Dan pada penghujung hidupnya ia menciptakan System of Profound Knowledge. Sebuah framework yang fokus pada transformasi manajemen secara keseluruhan. Transformasi yang menekankan bahwa manusia dengan segala aspek “manusiawinya” seperti aspirasinya dan potensinya, sama pentingnya dengan tools-tools technical seperti statistics dan system modelling. Sebuah Transformasi yang dimulai dengan kesadaran untuk respek pada manusia dan kulturnya.

Dan ini membawa kita pada dua point utama yang mendasari cara berpikir Demming: sebuah kesadaran bahwa tugas utama bisnis pada dasarnya adalah untuk melayani customernya (“to serve its customers,“) dan sebuah kepercayaan mendasar bahwa manusia punya hak untuk menikmati pekerjaanya. (“People have the right to enjoy their work.”)

Tapi celakanya, mayoritas organisasi abai pada dua hal esensial tersebut.

Demming berkata bahwa “All human beings are born with intrinsic motivation: an inner drive to learn, to take pride in their work, to experiment, and to improve.”

Puluhan tahun praktek pendidikan dan manajemen yang lalu-lalu telah merusak inner drive ini. Manusia menjadi disengaged dengan dirinya sendiri, dengan sesamanya, dan dengan masyarakat secara keseluruhan.

Semua itu dimulai dari tempat mereka mengenyam pendidikan. Dimulai dari Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, sampai ke jenjang Perguruan Tinggi.

Mengenyam pendidikan yang mementingkan nilai dan rangking. Pendidikan yang hanya mementingkan formalitas dan pemahaman superficial. Pendidikan yang hanya mementingkan pendalaman materi teknis tanpa pernah mengajarkan kerja sama, komunikasi, dan cara berempati dengan sesama. Pendidikan yang sama sekali mengabaikan dan bahkan menghancurkan aspek manusianya.

Dan hal ini menular sampai ke tempat kerja.

Akibatnya organisasi2 dipimpin oleh manajemen yang clueless dan seenaknya. Manajemen yang memimpin dengan gaya otoriter dan penuh ketakutan. Manajemen yang asal main hukum dan berpola “carrot and stick”. Manajemen yang mempunyai kultur “asal bapak senang”. Manajemen yang anti kritik dan melihat dunia secara hitam dan putih. Manajemen yang malah mendorong kompetisi di antara karyawannya sehingga memunculkan kultur ketidak-percayaan di segala sendi-sendi organisasinya.

Dan, utamanya, manajemen yang abai pada aspek kualitatif timnya tapi malah fokus pada metrik-metrik kuantitatif yang kurang bermanfaat dan, seringnya, malah bersifat menghancurkan: Mulai dari rangking-rangking dan kpi-kpi gak jelas yang diawasi dan dipaksakan ke individu, surveillance dan modelling-modelling performa untuk me-micromonage setiap detil karyawannya, sampai dengan moonshot growth targets yang gak realistis dan short term goals yang merusak.

Pada akhirnya kita terjebak pada pola “pleasing bosses and failing to improve the system that serve customers.” Dosa-dosa manajemen yang pada akhirya hanya akan menghasilkan a culture of mediocrity. Memerlukan effort yang luar biasa besar dari karyawannya tapi pada akhirnya hanya memberikan hasil yang medioker. Pada akhirnya manusia rusak, dan bersamannya, organsiasinya.

***

Organizations as Living Systems

Dan ini membawa kita pada point utama yang ingin Peter Senge sampaikan: “At its essence,” tulis Senge, “every organization is a product of how its member think and interact.” Organisasi sejatinya adalah sebuah living system. Sebuah living system yang terdiri dari kumpulan-kumpulan komunitas orang-orang yang bekerja.

Tanpa adanya kesadaran ini, ungkap Senge, kita hanya akan menjadi terpecah-pecah. Hanya akan mengakibatkan “Fragmentation,” dan “the loss of the whole” bagi manusia di dalamnya. Kita menjadi “buta”. Persis karena kita hanya melihat tindakan kita dari sudut pandang diri kita sendiri saja. Tidak sadar bahwa tindakan kita saling mempengaruhi satu sama lain dan menjadi sumber dari berbagai masalah yang ada.

Masalahnya, kebanyakan orang melihat organisasi seperti sebuah “benda”. Sebuah benda yang mempunyai karakteristik mekanis. Organisasi, dengan segala kompleksitas dan warna warni interaksi manusianya, sekedar direduksi menjadi sebuah mesin.

Organisasi seolah-olah bisa dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil untuk kemudian dioptimalkan satu-satu dengan angka, atau, lebih buruknya lagi, sekedar dioptimalkan melalui otak-atik angka finansial.

Dan selayaknya sebuah mesin, masalah tinggal “dibetulkan” begitu saja.

Pada prakteknya, manajemen sibuk menyalahkan orang lain, pada akhirnya anggota tim pun mengadopsi pola pikir yang sama. Msalah seakan-akan berada “di luar sana”, padahal asal usul masalahnya ada pada diri mereka sendiri..

“System thinking show us that there is no separate ‘other’; that you and the someone else are part of a single system.”

A Pattern of Interactions and Processes

“A truly profound and different insight is the way you begin to see that the system causes its own behavior” – Donatella Meadows

The Fifth Discipline dimulai dengan sebuah kesadaran untuk melihat ke dalam ketimbang ke luar. Untuk melihat interaksi-interaksi tersembunyi yang muncul dari diri kita masing-masing

Interaksi-interaksi yang pada akhirnya mempengaruhi kita semua dan menjadi penghalang potensi diri kita dan organisasi kita—interaksi antara manusia dengan pikirannya, antara manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan sistem dan proses yang ia bangun. “Changing the way we interact means redesigning not just the formal structures of the organizations, but the hard to see patterns of interaction between people and processes.”

Perubahan paradigma manajemen dari hanya sekedar tools untuk memanage goals menjadi manajemen yang fokus pada struktur dan manusianya. Menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit yang menjangkau tidak hanya tools-tools teknis problem solving, goal setting, maupun perkara adminsitratif tapi juga melingkupi hal-hal seperti proses, kebiasaan, cara berpikir, dan hubungan-hubungan manusia dengan sesamanya.

In other words, We shape our structures and then they shape us.”

Dengan kaca mata seperti itu, tugas manjemen pun mulai berubah. Kita mulai memikirkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan sulit yang sebelumnya jarang kita bahas:

  • Bagaimana hubungan antar anggota tim? Apakah ada Trust di antara kita? Apakah anggota tim kita bisa memberikan pendapat tanpa dihukum? Apakah tim kita telah belajar bekerja sama? Apakah tim kita punya semua yang mereka perlukan?
  • Apakah komunikasi kita sudah lancar? Bagaimana ide-ide baru direspon? negative atau positif? Apakah saran dan pertanyaan direspon? Apakah tiap-tiap anggota tim sudah bisa menyadari biasnya dan tidak langsung mengkerdilkan ide orang lain?
  • Work practices seperti apa yang harusnya kita kembangkan agar semua anggota tim bisa berkembang? Apakah para pemimpin di dalam organisasi kita telah membantu menghilangkan halangan-halangan yang dihadapi anggota tim? Asumsi-asumsi tersembunyi apa yang hidup di dalam organisasi kita?

Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dianggap remeh tapi sebenarnya menjadi kunci transformasi organisasi kita.

Hal senada juga disampaikan Deming: “85% of faults lie with systems, processes, structures and practices in an organisation and only 15% is down to operator skill and it is the responsibility of management to fix this.”

The New Roles of Management

Managers need to get out of the way. “Managers must redefine their job. They must give up ‘the old dogma of planning, organizing and controlling’, and realize ‘the almost sacredness of their responsibility for the lives of so many people. Managers’ fundamental task, according to O’Brien is ‘providing the enabling conditions for people to lead the most enriching lives they can’

Peter Senge mengingatkan kita bahwa tugas manajemen yang sesungguhnya adalah to serve people. Mengingatkan kita akan pentingya peran dan tanggung jawab manajemen terhadap kehidupan banyak orang. Bagi Senge organisasi adalah “a set of overlapping communities formed around shared meaning.” Sekumpulan komunitas di mana orang-orang menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana.

Oleh karena itu tugas manajemen sesungguhnya lebih besar dari yang umumnya kita bayangkan. Tugas manajemen bukan sekedar mencari cara tercepat untuk mencapai target, tapi lebih dari itu, tugas manajemen seharusnya mulai memikirkan cara-cara untuk memberikan environment terbaik agar manusia bisa belajar dan merealisasikan potensi terbesarnya di sana. Hanya dengan fokus pada struktur-struktur dan menyelesaikan hambatan-hambatan individu lah excellence bisa tercapai.

Team Learning

“When you ask people about what it is like being part of a great team, what is most striking is the meaningfulness of the experience. People talk about being part of something larger than themselves, of being connected, of being generative. It becomes quite clear that, for many, their experiences as part of truly great teams stand out as singular periods of life lived to the fullest. Some spend the rest of their lives looking for ways to recapture that spirit.”

Senge mengingatkan kita bahwateams that become great didn’t start off great—it learned to produce extraordinary results,” dan ini berlaku untuk semua jenis kerja sama.

Bagi Senge, kerja sama merupakan salah satu aspek esensial sebuah learning organizations. Sebuah aspek esensial yang menurut saya paling sering terabaikan selama ini. Kita langsung terjun ke sekolah, ke dunia kerja, ke dalam relationship begitu saja, seadanya, tanpa pernah melatih dan mengembangkan kemampuan untuk saling bekerja sama. Ilusi menyesatkan bahwa semua bisa dilakukan begitu saja.

Bisa jadi suatu tim yang telah bekerja sama selama bertahun-tahun lamanya tidak pernah meningkat kemampuan bekerja samanya. Mereka tetap berada pada novice level performance, tidak pernah “matang”.

The fifth discipline mengingatkan kita bahwa learning to work together is a separate skill that needs to be learned.

Aspek kerja sama ini hanya bisa ditopang jika kita memiliki skill-skill yang relevan: skill untuk berdiskusi dan berdialog, skill untuk melakukan inquiry dan reflection, skill untuk menyadari, dan bahkan melawan, asumsi dan bias tersembunyi yang selama ini kita anut dan hidup dalam diri kita masing-masing.

“We know that teams can learn, …  there are striking examples where the intelligence of the team exceeds the intelligence of the individuals in the team, and where teams develop extraordinary capacities for coordinated action. When teams are truly learning, not only are they producing extraordinary results, but the individual members are growing more rapidly than could have occurred otherwise.”

***

The fifth discipline bagi saya adalah sebuah ajakan untuk tumbuh bersama, dan kesadaran bahwa perjuangan yang sesungguhnya adalah perjuangan melawan asumsi dan bias.

Semenjak publikasi bukunya pada tahun 1990, literatur mengenai learning organization pun semakin banyak, baik dari para praktisi maupun peneliti organisasi dan manajemen. Teori-teori, baik buku, framework, maupun research paper baru di literatur pun semakin berkembang dan turut pula mendukung dan bahkan melengkapi teori-teori yang ada pada buku ini.

Tidak salah kalau ternyata Deming dan Senge satu suara. Karena pada dasarnya mereka berbicara mengenai hal yang sama. Yang sebenernya mereka inginkan adalah membuat paradigma manajemen yang sama sekali baru. Sebuah falsafat manajemen yang merombak secara total sistem manajemen yang ada selama ini.

Pada akhirnya buku ini berhasil menjadi pemantik bagi diri saya untuk memahami esensi manajemen dan organsiasi dengan lebih dalam. Untuk terus memperbaiki praktik manajemen yang ada saat ini.

Walaupun bukan yang pertama mengemukakan konsep learning organization, Peter Senge telah berhasil mengurai dengan dalam dan menyeluruh tentang aspek2, hubungan, dan pengaruh dari berbagai forces yang ada di dalam diri manusia maupun organisasinya untuk mencapai goal learning organization yang ingin dia capai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *