Pale Fire: A Review

Bagi saya Pale Fire terasa seperti sebuah persembahan intelektual oleh Nabokov untuk para pembacanya, seperti sebuah puzzle yang tempramental namun cantik, penuh dengan teka-teki dan makna yang berlapis-lapis, menghasilkan berbagai diskusi dan teori-teori dari berbagai kalangan selama bertahun-tahun, dan, oleh karenanya, merupakan satu karya yang unik di mata saya: seperti satu untaian karet besar yang terbentang dan ditarik menuju dua sisi yang berlawanan—sisi Nabokov sebagai pencerita dan sisi Nabokov sebagai pengkritik sastra. Sebuah pertentangan yang menghasilkan kekhasannya tersendiri.

Dia akan membawa kita pada rahasia dunia sastra, menyeretnya dari singgasananya dan menghajarnya sampai babak belur. Membawa-bawa Dostoevski dan Goethe, Shakespear dan Pope, Timon of Athens dan A la Recherche du Temps Perdu.

Dia akan membawa-bawa teori dan psychoanalysisnya Freud, mengolok-ngoloknya dan mengkritik kekonyolan teorinya. “The little cap of red velvet in the German version of Little Red Riding Hood is a symbol of menstruation.” Do those clowns really believe what they teach? Keskeptisan yang muncul akibat latar belakangnya dia yang juga seorang saintis. “I admire Freud greatly,” ujar Nabokov, “… as a comic writer.”

Dia akan membawa kita pada cerita mengenai alam dan manusia. Bercerita mengenai biologi, geografi, antropologi, dan bahkan supranatural. Membawa-bawa imaji burung terbang mengangkasa semenjak 4 baris pertama puisinya, dan membawa-bawa kupu-kupu Vanessa, The Red Admirable, dalam momen-momen penting di ceritanya.

Dia akan membawa-bawa sejarah dunia dan mengarang sejarah dunianya sendiri: mendongeng tentang kerajaan fiksi bernama Zembla, nun jauh di Timur, di antara Bera Range dan Quay of Blawick, di antara Embla point dan Emblem Bay, lengkap dengan silsilah kerajaan dan pergolakannya sendiri.

Tapi sejatinya, di antara semua itu, dia akan membawa kita pada rahasia jiwa terdalam dua orang manusia: tentang mendiang John Shade yang melalui puisinya berusaha untuk memahami hidupnya selama ini, hidupnya yang dipenuhi dengan kematian orang-orang terdekatnya. Dan tentang Charles Kinbote yang, dengan keangkuhan dan obsesinya, merasa berhak dan memaksa untuk mengomentari puisi temannya tersebut.

Read more…

The Fifth Discipline: A Review

Kalau ada satu buku yang berhasil menjungkirbalikan hidup saya dan akhirnya menyetel ulang cara berpikir saya selama ini, maka The Fifth Discipline adalah buku yang saya maksud.

Setelah sempat mendekam dalam reading list saya selama bertahun-tahun, berikut selentingan-selentingan dari berbagai arah mengenai pentingnya buku ini untuk memahami system thinking dan organisasi, pada suatu sore hari pada tanggal 15 februari lalu saya akhirnya memutuskan untuk membaca buku ini untuk pertama kalinya. Dan ternyata, buku ini melebihi ekspektasi terliar saya.

Melalui The Fifth Discipline, Peter Senge berhasil menggabungkan beberapa framework, teori, dan metode berbeda, yang ia sebut sebagai Disciplines, yang selama ini terpisah dan tampak tidak relevan satu sama lain menjadi satu kesatuan falsafat manajemen yang terpadu.

Sebuah falsafat manajemen yang berusaha untuk membentuk Learning Organziations:” Organizations where people continually expand their capacity to create the results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together.”

“Learning in this context does not mean acquiring more information, but expanding the ability to produce the results we truly want in life. It is lifelong generative learning.”

Sebuah falsafat manajemen yang berusaha menghancurkan anggapan bahwa dunia ini terpisah-pisah dan terbentuk dari bagian-bagian yang tidak saling mempengaruhi.

Tapi lebih dari itu, lebih dari sekedar metode-metode ataupun framework berorganisasi, buku ini sejatinya hendak menanyakan kembali makna dan tugas manajemen selama ini.

Read more…

Your Strategy Needs a Strategy: A Review

Your strategy needs a strategy melihat dunia melalui rear-view mirror, melihat ke belakang ketimbang ke depan. Melihat dunia sebagaimana adanya. Enggan melihat dunia dengan lebih kritis. Akibatnya, membaca buku ini seperti membaca sebuah executive summary sepanjang 200 halaman. Sebuah executive summary yang, at its best, terlalu menyederhanakan dunia, dan, at its worst, mendistorsi realita.

Di satu sisi, buku ini memberikan kontribusi baru mengenai jenis-jenis tantangan yang dihadapi oleh sebuah bisnis dan cara-cara yang tepat untuk menyikapinya, tapi di sisi lain, kesimpulan dan implementasinya disajikan dengan riset dan contoh yang agak ngambang, dengan analisa yang rasanya kurang “masuk”.

Ditulis oleh Martin Reeves, Knut Haanæs dan Janmejaya Sinha dari Boston Consulting Group, Your Strategy Needs a Strategy membahas mengenai berbagai jenis strategi yang tepat digunakan untuk menghadapi tantangan market dan bisnis yang berbeda-beda.

Karakter pasar dan tren bisnis, menurut mereka, bisa dibagi menjadi tiga buah tantangan:
a. Tantangan menurut tingkat Malleability (Seberapa gampang market/industrynya bisa dibentuk)
b. Tantangan menurut tingkat Unpredictability (Seberapa predictable market dan industrynya)
c. Tantangan menurut tingkat Harshness (Seberapa keras dan profitable market/industrynya.)

Dengan tiga dimensi tantangan tersebut, perusahaan mempunyai lima jenis strategi yang bisa diterapkan:
1. Classical Strategy ketika arah industri dan market bisa ditebak tapi sulit dibentuk,
2. Visionary Strategy ketika arah industri dan market bisa ditebak dan bisa dibentuk,
3. Adaptive Strategy ketika arah industri dan market susah ditebak dan sulit dibentuk,
4. Shaping Strategy, ketika arah industri dan market susah ditebak tapi bisa dibentuk,
5. Renewal Strategy, ketika market sedang keras yang ditandai oleh growth yg rendah, sehingga perusahaan membutuhkan pembaharuan bisnis, berupa pembaharuan internal maupun pemilihan market yang lebih sustainable.

Dan dalam usahanya, mereka sanggup memberikan kacamata baru untuk melihat tantangan market yang dihadapi sebuah bisnis pada umumnya. Sayangnya, buku ini mulai bermasalah ketika kita memasuki detil implementasi dan justifikasi frameworknya.

Read more…

Cannery Row: A Review

Selesai mengikuti petualangan Mack dan kawan-kawannya dalam novel ini, saya terkesima oleh luasnya dunia yang tertuang dalam paragraf-paragrafnya: manusia yang kecil berhadapan dengan alam dan dunia yang begitu besar. Cannery Row mengambil cerita di Kota Monterrey, California pada awal abad 20. Sebuah masa di mana dunia terasa begitu besar dan sumber daya alam seolah2 tak terbatas. Eranya Ford Model T dan Jeans Overalls dan menangkap tangkapan dengan kepalan tangan sendiri di sungai.

Terletak di pinggir pantai Monterrey Bay yang menghadap Samudra Pasifik, di antara pabrik-pabrik pengalengan Sardin, dan di antara bukit-bukit dan jalur kereta yang malang melintang menuju pelabuhan, Cannery Row berisi satu potong kehidupan rakyat kecil Amerika serikat pada masa Great Depression—satu potong komunitas yang berusaha, melalui cara dan batas kekuatan mereka sendiri, untuk bertahan dari derasnya arus kehidupan.

Sebetulnya ceritanya sederhana: tentang perjuangan Mack dan kawan-kawannya untuk memberikan hadiah ulang tahun bagi teman mereka Doc.

Mack dan kawan-kawannya, Hazel, Eddie, Hughie, dan Gay, bisa dibilang manusia gak jelas—rakyat jelata pekerja kasar yang gonta-ganti pekerjaan sana-sini, culas (kadang tak mengindahkan kepemilikan barang orang lain, ehem), dan gak beruntung ketika menjalin hubungan dengan wanita. Akibatnya mereka kebanyakan nganggur dan minum-minum.

“Rumah pertama” mereka pun hanya seonggok pipa-pipa kosong bekas konstruksi pelabuhan. Walau begitu mereka cerdik, setia kawan, dan tak henti-hentinya memutar otak agar bisa melalui ini semua. Mack and the boys Steinbeck sebut sebagai “The Virtues, the Graces, (and) the Beauties of the hurried mangled craziness of Monterrey.”

Sebaliknya, Doc adalah seorang Marine Biologist. Seorang tokoh terpandang di Cannery Row. Penyuka seni, alam, dan filsafat. Doc pemilik Western Biological Laboratory yang berada di seberang rumah mereka dan terletak di dekat pantai. Doc sangat akrab dengan penghuni Cannery Row lainnya. Hampir tak ada satupun yang tak pernah berutang budi dengan dia, seberapapun kecilnya. Dunia berjalan seperti biasa di Cannery Row, hingga suatu ketika Doc sedang menyebrangi jalan untuk membeli Beer, Mac berkata pada kawannya, “That Doc is a fine fellow. We ought to do something for him.” Dimulailah petualangan kecil mereka untuk mewujudkan ide tersebut.

Kesederhanaan cerita ini juga tertuang dalam struktur dan diksi yang digunakan oleh Steinbeck: sederhana, gak muluk-muluk. Hanya menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Banyak yang bilang mirip dengan prosa Hemmingway. Bagi yang suka tipikal prosa seperti itu mungkin akan sangat menyukai Cannery Row. Walaupun saya lebih menyukai prosa-prosa yang lebih imajinatif yang mengalir seperti mimpi, dan membuat saya membayangkan bentuk-bentuk yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya.

Selama usaha Mack dan kawan-kawannya tersebut kita akan berkenalan dengan para penghuni unik di Cannery Row. Setiap bab diselipi vignette, berupa potret cerita penghuni-penghuninya. Melalui novel ini Steinbeck berusaha menceritakan kehidupan mereka yang terpinggirkan. Mereka-mereka yang hidup di antara rumah bordil, pabrik-pabrik, dan pelabuhan ikan, di antara para pelaut dan serdadu, pemabuk dan para pejudi, pekerja kasar paruh waktu dan manusia-manusia naas yang tak punya rumah. Mereka-mereka yang hidup dari paycheck to paycheck. Sebuah hidup yang melankolis tanpa pernah kehilangan semangat hidup.

Dunia nyatanya acuh dengan rencana manusia, karena dia pun punya rencananya tersendiri. Di hadapan dunia dan alam yang begitu luas manusia menjadi tak berarti. Tetapi di antara semua itu kita akan menjumpai kisah-kisah mereka yang menolak untuk terhempas.